Selasa, 24 November 2015

mafhum dan manthuq



ASY-SYAFI’IYAH
(MA’NA MANTHUQ DAN MAFHUM)
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen pengampu: Drs. H. Muhyidin, M.Ag
20151124160313.png
Di Susun Oleh:
Abu Hasan Tamim                  1402046039
Busrol Habibi                          1402046042
Mohammad Nasrun                1402046048
Siska Anggraeni                      1402046053
Hisyam Nurul Kirom              1402046067

JURUSAN ILMU FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PEENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengkajian Al-qur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks. Karena perkembangan hukum dari masa ke masa selalu maju mengikuti langkah kaki para makhluknya. Dan hukum pun demikian, seiring dengan perkembangan masa, perjalanan waktu dan kehidupan makhlukNya, hukum mengiringinya. Keseimbangan hukum dalam kehidupan di terapkan karena menggunakan dasar yang konsekuen dan fleksibel. Al-qur’an dalam hal ini dan as-sunnah (hadits) tentunya, menjadi dasar dan sumber dari segala hukum.
Dalam pengembangan hukum pada Al-qur’an dan hadits, ushul fiqh berperan penting dalam mencapai kemaslahatan dan kesesuaian hukum,salah satunya adalah tentang ma’na al-manthuq dan mafhum yang akan di bahas sedikit pada makalah kami.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi ma’na al-manthuq dan mafhum?
2.      Apa saja macam dan contohnya?
3.      Bagaimana kehujjahan ma’na al-manthuq dan mafhum?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi  Ma’na Al-Manthuq dan Mafhum
Yang di maksud dengan Al-Manthuq dan Mafhum yaitu:
1.      Ma’na Al-Manthuq
Di lihat dari segi bahasa adalah yang di ucapkan, yang tersurat atau teks, dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah:
ما دل عليه اللفظ في محل النطق
“sesuatu yang di tunjuk oleh lafadz sesuai dengan teks ucapan itu.”
Seperti pada Q.S Al-isra’ ayat 23:
فلا تقل لهما اف
“maka janganlah kamu katakan pada kedua orang tuamu perkataan yang keji.” (Q.S Al-Isra’: 23)
Maka sesuai yang ada pada teks ayat tersebut, makna hukum darinya adalah larangan berkata kasar pada kedua orang tua. Namun pada ayat tersebut juga terdapat mafhumnya.
2.      Mafhum
Makna dari mafhum adalah kebaikan dari ma’na Al-Manthuq, yaitu yang di faham, yang tersirat. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh  adalah:
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق
“sesuatu yang di tunjuk oleh lafadz di luar teks ucapan itu.”
Jadi yang di namakan lafadz di sini adalah cetusan dari makna-makna. Terkadang maksud dari suatu lafadz sesuai dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas, yang demikian di namakan “manthuq”. Dan terkadang yang di maksudkan oleh lafadz bukanlah yang tersurat atau terucap, tetapi yang di maksudkan adalah yang tersirat, yang demikian di namakan “mafhum”.
Seperti contoh ayat diatas,  tentang larangan berkata kasar pada kedua orang tua. Maka makna mafhum yang di dapat dari ayat tersebut ialah larangan memukul kedua orang tua. karena memukul itu  lebih dari berkata kasar.
Maka dapat di katakan bahwa yang namanya ma’na al-manthuq adalah hukum yang dilihat secara tekstual, dan mafhum adalah hukum yang di lihat secara kontekstual.
B.     Macam – Macam Manthuq dan Mafhum
1.      Manthuq (ma’na al-manthuq)
Seperti definisi di atas manthuq di bagi menjadi dua, yaitu: nash dan dhahir.
a.      Nash
Dapat dikatakan juga sharih (صريح) artinya jelas atau tegas. Maksudnya adalah lafadz yang memungkinkan untuk di takwil. Sebagai contoh, firman Allah dalam hal kafarat bagi orang yang tidak mampu, berbunyi:
.....فصيام ثلاثة ايام....
“....maka hendaklah berpuasa tiga hari...”(Q.S Al-maidah: 89)
Ayat tersebut tidak memungkinkan pemalingan artinya pada arti yang lain, karena jelas menunjukan wajib puasa tiga hari.[1]
b.      Dhahir
Dhahir artinya yang tampak atau yang nyata. Maksudnya adalah lafadz yang memungkinkan untuk di takwil. Yang seperti ini biasa di sebut dengan ghairu sharih (صريح غير) artinya tidak jelas maksudnya.  Sebagai contoh adalah firman Allah:
و السماء بنينا ها بأيد
“Dan langit itu kami bangun dengan tangan.... “(Q.S. Adz-Dzariyat: 47)
Arti “tangan” pada ayat diatas di takwilkan artinya dengan kekuasaan atau kekuatan, karena tidak mungkin Allah bertangan seperti manusia.
2.      Mafhum
Mafhum dalam ushul fiqh ada dua, yaitu: muwafaqah dan mukhalafah.
a.      Mafhum muwafaqah
Adalah mafhum yang sesuai dengan manthuq-nya. Dan ulama ushul memberi makna mafhum muwafaqah adalah[2]:
“apa-apa yang tidak tersebut (yakni yang tersirat) sesuai bagi yang tersurat.”
Dan dilihat dari bentuknya, mafhm muwafaqah bisa di bagi menjadi dua:
1)      Fakhwal khitab
Yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari manthuq-nya. Sebagai contoh, firman Allah:
فلا تقل لهما اف
“maka janganlah kamu katakan pada kedua orang tuamu perkataan yang keji.” (Q.S Al-Isra’: 23)
Kadar mafhum pada ayat tersebut, yakni “tidak boleh memukul” adalah lebih tinggi daripada mengucapkan perkataan yang keji.
2)      Lakhnul khitab
Adalah mafhum yang mana antara mafhum dan manthuq itu mempunyai kadar yang sama. Sebagaimana pada firman Allah yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya... (Q.S An-Nisa: 10)
Pada ayat ersebut, memakan harta anak yatim adalah sebagai manthuq, dan mafhumnya adalah membakar harta anak yatim. Dalam hal kadar antara memakan dan membakar harta anak yatim adalah sama, dilihat dari sisi mengandung sifat menghabiskan.
b.      Mafhum mukhalafah[3]
Dalam memahami sebagian teks Al-Qur’an dan hadits, terkadang tidak cukup menggunakan pendekatan tersurat saja, tetapi memerlukan logika terbalik atau dalam terminologi ushul fiqh di sebut mafhum mukhalafah. Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap hadits nabi:
في الغنم السائمة زكاة
“dalam ternak kambing yang di lepas (tidak diberi makan oleh pemiliknya) terdapat kewajiban zakat. (HR Imam An-Nasa’i).
Makna tersurat hadits tersebut adalah bahwa pemilik kambing yang di lepas dan tidak di beri makan sendiri wajib mengeluarkan zakatnya sekiranya mencapai satu nisab. Namun demikian, dengan menggunakan logika terbalik, teks hadits tersebut mengandung pengertian tersirat bahwa kambing yang di beri makan sendiri oleh pemiliknya tidak dikenakan kewajiban zakat walaupun sampai satu nisab. Dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, tingkat validasi mafhum mukhalafah sebagaimana dalam contoh tersebut masih diperdebatkan di kalangan para yuris, khususnya kalangan madzhab mutakalimin dan madzhab ahnaf.
Mafhum mukhalafah sendiri merupakan kebalikan dari mafhum muwafaqah. Secara etimologi, kata “mafhum” berarti pemahaman atau sesuatu yang dapat di pahami. Sedangkan kata “mukhalafah” mempunyai arti berlawanan. Secara terminologi, mafhum mukhalafah adalah penunjukan lafadz untuk menetapkan suatu hukum yang tidak di sebutkan secara tersurat dan hukum tersebut berlawanan dengan hukum yang telah disebutkan secara tersurat dalam lafadz. Diberi nama mafhum mukhalafah karena pemahaman tersirat yang di peroleh berlawanan denganpemahaman tersuratnya.


Dalam kajian ushul fiqh, terdapat jenis dan ragam mafhum mukhalafah, antara lain:
1.      Mafhum ash-Shifah
Yaitu menyebutkan nama sesuatu yang masih umum di sertai dengan sifat yang khusus atau membatasi lafadz yang mempunyai berbagai makna(musytarak) dengan lafadz lain secara lebih khusus. Seperti hadits nabi:
في الغنم السائمة زكاة
“dalam ternak kambing yang di lepas (tidak diberi makan oleh pemiliknya) terdapat kewajiban zakat. (HR Imam An-Nasa’i).
            Sifat yang dimaksud dalam teks hadits di atas adalah kata “di lepas”. Dengan demikian, mafhum mukhalafahnya adalah bahwa kambing yang “tidak di lepas”(di beri makan pemiliknya sendiri)tidaklah dikenakan zakat.
2.      Mafhum Asy-Syarti
Yaitu lafadz yang indikasi hukumnya di kaitkan dengan syarat tertentu. Lafadz tersebut menunjuk pada hukum sebaliknya sekiranya syarat yang disebutkan itu tidak ada. Seperti firman Allah:

“dan jika istri-istri yang sudah di talak itu sedang mengandung maka berikanlah kepada mereka nafkah sampai mereka bersalin.” (Q.S At-Thalaq: 6)
Indikasi hukum pada ayat tersebut adalah kewajiban memberi nafkah pada isttri yang sudah di talak dengan syarat ia sedang mengandung. Mafhum mukhalafahnya, apabila istri  yang di talak tersebut tidak mengandung berarti tidak ada kewajiban memberi nafkah.
3.      Mafhum Al-Ghayah
Yaitu lafadz yang indikasi hukukmnya di kaitkan dengan batasan waktu tertentu. Lafadz tersebut menunjukan pada hukum sebaliknya sekiranya batasan tersebutsudah lampau. Seperti firman Allah:

“dan makan minumlah kamu hingga tampak jelas bagimu benang putih dan benang merah yaitu fajar.” (Q.S Al-Baqarah: 187)
Indikasi hukum yang terdapat pada ayat tersebut adalah diperbolehkannya makan dan minum pada malam hari bagi mereka yang bepuasa hingga terbit fajar. Dengan demikian, mafhum mukhalafahnya adalah tidak boleh makan dan minum bagi orang yang berpuasa jika fajar telah menyingsing terbit.
4.      Mafhum Al-Adad
Yaitu lafadz yang indikasi hukumnya dikaitkan dengan hitungan angka tertentu. Lafadz tersebut mengindikasikan tidak adanyan hukum diluar bilangan tersebut. Seperti firman Allah:

“Pezina laki-laki dan pezina perempuan hendaknya diberi hukuman cambuk masing-masing seratus kali.” (Q.S An-Nur: 2)
Indikasi mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah tidak di perbolehkannya hukuman cambuk bagi pezina laki-laki dan perempuan lebih atau kurang dari bilangan seratus kali.
5.      Mafhum Al-Laqab
Yaitu kaitan hukum dengan sebuah nama. Seperti perkataan: “saudara Ahmad datang” atau “ Muhammad adalah utusan Allah”. Mafhum mukhalafahnya bahwa selain saudaranya Ahmad tidak datang dalam contoh pertama dan selain Muhammad bukanlah utusan Allah pada contoh kedua.
Jenis mafhum ini sebenarnya tidak layak untuk dijadikan dallil hukum, sebab kenyataannya tidak mustahil selain saudaranya Ahmad pun ikut datang. Begitu pula pada contoh kedua, bukan hanya Muhammad sajalah yang menjadi utusan Allah SWT, mengingat Allah SWT mempunyai banyak utusan (rasul).
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqhmenolak kehujjahan mafhum AL-Laqab ini kecuali beberapa orang saja, seperti Abu Bakr Ad-Daqqaq,Malik, dawud, dan sejumlah ulama dalam madzhab syafi’i.
6.      Mafhum Al-Hashr
yaitu pembatasan berlakunya hukum pada masalah-masalah tertentu. Seperti lafadz ما (tidak) disandingkan dengan lafadz الا (kecuali) seperti pada lafadz: ما قام الا احمد (tidak berdiri kecuali Ahmad). Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa hukum berdiri terbatas hanya pada Ahmad saja.
C.    Kehujjahan Manthuq dan Mafhum
“mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah”
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Hampir semua ulama berpendapat demikian, kecualli golongan dhahiriyah.
المفاهيم  الا اللقب حجة
“semua mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab”
Namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup mencolok antara madzhab mutakalimin dan Ahnaf tentang kehujjahan mafhum mukhalafah. Madzhab mutakalimin menganggap bahwa mafhum mukhalafh sebagai dalil dalam penetapan hukum islam sekaligus sebagai kaidah penunjuk lafadz terhadap hukum-hukum yang di kandungnya.
Mengingat mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujah syar’iyah, maka madzhab ini memandang wajib mengamalkan kandungan teks dengan pendekatan logika terbalik ini.
Bagi kaum mutakalimin, jika sebuah teks dibatasi kandungan hukumnyadngan batasan tertentu dan sekiranya batasan tersebut sudah tidak ada lagi, maka pendekatan dengan mafhum mukhalafah maka indikasi hukum yang di  berubah menjadi sebaliknya. Dengan ungkapan lain, adanya batasan tertentu dalam teks Al-qur’an dan hadits mempunyai tujuan dan maksud ttersendiri dari syar’i (Allah SWT). Oleh itu, sekiranya hukum haram di batasi dengan batasan tertentu maka hukum haram tersebut akan berubah menjadi hukum halal apabila batasan di atas sudah tidak ada lagi. Kalau saja logika ini tidak di gunakan, maka batasan dalam teks Al-qur’an dan Hadits akan sia-sia belaka tanpa mempunyai maksud dan tujuan. Kesia-siaan ini tidak mungkin terjadi pada syariat yang bijaksana. Dengan demikian, teks yang mempunyai batasan tertentu tadi mempunyai dua indikasi hukum. Pertama, indikasi hukum dengan cara manthuq (tersurat) dan yang kedua, indikasi hukum dengan cara mafhum (tersirat).
Jika madzhab mutakalimin bisa mengakui validasi mafhum mukhalafah, maka sebaliknya, madzhab Ahnaf tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai hujjah syar’iyah. Bagi madzhab Ahnaf mafhum mukhalafah bukanlah dalil yang digunakan dalam menentukan indikasi hukum dari teks Al-qur’an dan hadits. Kata mafhum mukhalafah sendiri dalam madzhab Ahnaf lebih dikenal dengan mukhalafah bi dzikr. Dalam kaitan ini Imam Abu Bakr al-jashbash berkata bahwa menurut madzhab Ahnaf, mukhalafah bi dzikr mempunyai indikasi hukum terbatas dan tidak mempunyai logika hukum terbalik atau indikasi hukum yang berlawanan.
Bagi madzhab ini, timbulnya hukum berlawanan dari teks tersurat bukanlah dengan cara  mafhum mukhalafah, tetapi karena terdapat dalil lain seperti al-Bara’ah al-ashliyah, yaitu dalil yang mengatakan bahwa dalil dari setiap hukum asal dari setiap sesuatu itu adalah “tidak ada” hingga ada dalil khusus yang menentukan hukum wajib, haram, dan lainnya.  Namun demikian, mazhab Ahnaf tidak dapat menerima mafhum mukhalafah sebagai hujjah terbatas pada ungkapan-ungkapan syar’i baik berupa teks Al-qur’an ataupun hadits. Sebaliknya, di luar teks syar’i, seperti dalam perkataan manusia serta adat istiadat mereka, mazhab ini masih menerima keberadaan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.
Penolakan mazhab Ahnaf terhadap validasi mafhum mukhalafah didasarkan pada asumsi bahwa penggunaan logika terbalik ini menyebabkan rusaknya makna. Selain itu, hukum-hukum yang di peroleh dari kedua teks tersebut akan bertentangan dengan syariat yang telah di tetapkan secara baku dan permanen. Mazhab inimengemukakan contoh (Q.S At-Taubah: 36) yang menyatakan haram melakukan kedzalliman pada bulan-bulah haram yang empat. Jika di terapkan pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari teks ini, maka berbuat kedzaliman diluar bulan-bulan haram yang empat tersebut boleh dilakukan. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan syariat yang baku. Argumen lain yang dikemukakan oleh mazhab Ahnaf, bahwa pembatasan  dalam teks wahyu terkadang disebutkan bukan untuk menjelaskan kaitan hukum, tetapi sekedar untuk menyambut baik tradisi maupun realitas yang sedang terjadi.
Kalangan mazhab mutakalimin sendiri sesungguhnya tidak mengapresiasikan penggunaan mafhum mukhalafah tanpa batasan. Argumen penolakan mazhab Ahnaf terhadap mafhum mukhalafah tidak bertentangan secara diametral dengan apa yang menjadi pendirian mazhab mutakalimin. Contoh absurditas penggunaan mafhum mukhalafah yang di kemukakan mazhab Ahnaf termasuk sesuatu yang di kecualikan dan dianggap tidak memenuhi persyaratan oleh mazhab mutakalimin untuk di ambil pemahaman terbalik. Dalam kaitan ini, mazhab ini (mutakalimin) mengajukan persyaratan bahwa batasan yang ada dalam sebuah teks wahyu tidaklah mempunyai maksud lain selain kandungan mafhum mukhalafah. Secara lebih terperinci, beberapa persyaratan yang harus di penuhi dalam penggunaan pemahaman terbalik adalah sebagai berikut:
1.      Kandungan mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat, seperti teks wahyu dan lain-lain. Dengan kata lain, untuk menerapkan pemahaman terbalik dari sebuah teks disyaratkan tidak ada teks lain yang menafikan kandungan hukum mafhum mukhalafah.
2.      Batasan dalam sebuah teks wahyu disyaratkan tidak mempunyai fungsi dan kegunaan lain selain untuk menetapkan hukum kebalikan (mafhum mukhalafah). Fungsi-fungsi lain yang dimaksud seperti untuk menyenangkan, untuk menakut-nakuti untuk memberi semangat, untuk membuat orang lari, untuk menyebut nikmat Allah SWT dan lain-lain.
3.      Batasan dalam teks wahyu bukan untuk menjelaskan hal yang sudah menjadi adat dan kebiasaan di kalangan masyarakat.
4.      Batasan dalam sebuah teks wahyu harus bebas dan mandiri dan tidak mengekor pada persoalan lain untuk bisa diambil pemahaman terbalik.
Dengan sejumlah persyaratan yang diajukan madzhab mutakalimin ini, maka kekhawatiran mazhab Ahnaf bahwa menggunakan mafhum mukhalafah dapat menyebabkan rusaknya makna dan produk hukun yang diperoleh dari teks wahyu menjadi tidak relevan lagi.


[1] Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh,Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hal.171
[2]
[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar