ASY-SYAFI’IYAH
(MA’NA MANTHUQ DAN
MAFHUM)
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen pengampu: Drs. H. Muhyidin, M.Ag

Di Susun Oleh:
Abu Hasan Tamim 1402046039
Busrol Habibi 1402046042
Mohammad Nasrun 1402046048
Siska Anggraeni 1402046053
Hisyam Nurul Kirom 1402046067
JURUSAN ILMU FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PEENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengkajian
Al-qur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami
hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang
lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah
pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta
merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks. Karena
perkembangan hukum dari masa ke masa selalu maju mengikuti langkah kaki para
makhluknya. Dan hukum pun demikian, seiring dengan perkembangan masa,
perjalanan waktu dan kehidupan makhlukNya, hukum mengiringinya. Keseimbangan
hukum dalam kehidupan di terapkan karena menggunakan dasar yang konsekuen dan
fleksibel. Al-qur’an dalam hal ini dan as-sunnah (hadits) tentunya, menjadi
dasar dan sumber dari segala hukum.
Dalam
pengembangan hukum pada Al-qur’an dan hadits, ushul fiqh berperan penting dalam
mencapai kemaslahatan dan kesesuaian hukum,salah satunya adalah tentang ma’na al-manthuq dan mafhum yang akan di bahas sedikit pada
makalah kami.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi ma’na al-manthuq dan mafhum?
2. Apa
saja macam dan contohnya?
3. Bagaimana
kehujjahan ma’na al-manthuq dan mafhum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ma’na Al-Manthuq dan Mafhum
Yang di maksud dengan Al-Manthuq dan
Mafhum yaitu:
1.
Ma’na
Al-Manthuq
Di
lihat dari segi bahasa adalah yang di ucapkan, yang tersurat atau teks, dan
lain-lain. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah:
ما دل عليه اللفظ في محل النطق
“sesuatu yang di tunjuk oleh lafadz sesuai dengan teks ucapan
itu.”
Seperti pada Q.S Al-isra’ ayat 23:
فلا تقل لهما اف
“maka janganlah kamu katakan pada kedua
orang tuamu perkataan yang keji.” (Q.S Al-Isra’: 23)
Maka
sesuai yang ada pada teks ayat tersebut, makna hukum darinya adalah larangan
berkata kasar pada kedua orang tua. Namun pada ayat tersebut juga terdapat
mafhumnya.
2. Mafhum
Makna dari mafhum adalah kebaikan dari ma’na
Al-Manthuq, yaitu yang di faham, yang tersirat. Sedangkan menurut istilah ulama
ushul fiqh adalah:
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق
“sesuatu yang di tunjuk oleh lafadz di luar
teks ucapan itu.”
Jadi yang di namakan lafadz di sini adalah cetusan
dari makna-makna. Terkadang maksud dari suatu lafadz sesuai dengan yang terucap
atau yang tersurat secara jelas, yang demikian di namakan “manthuq”. Dan
terkadang yang di maksudkan oleh lafadz bukanlah yang tersurat atau terucap,
tetapi yang di maksudkan adalah yang tersirat, yang demikian di namakan
“mafhum”.
Seperti contoh ayat diatas, tentang larangan berkata kasar pada kedua
orang tua. Maka makna mafhum yang di dapat dari ayat tersebut ialah larangan
memukul kedua orang tua. karena memukul itu
lebih dari berkata kasar.
Maka dapat di katakan bahwa yang namanya ma’na
al-manthuq adalah hukum yang dilihat secara tekstual, dan mafhum adalah hukum
yang di lihat secara kontekstual.
B. Macam
– Macam Manthuq dan Mafhum
1.
Manthuq
(ma’na al-manthuq)
Seperti definisi di atas manthuq di bagi menjadi dua,
yaitu: nash dan dhahir.
a.
Nash
Dapat dikatakan juga sharih (صريح) artinya
jelas atau tegas. Maksudnya adalah lafadz yang memungkinkan untuk di takwil.
Sebagai contoh, firman Allah dalam hal kafarat bagi orang yang tidak mampu,
berbunyi:
.....فصيام ثلاثة ايام....
“....maka hendaklah berpuasa tiga hari...”(Q.S Al-maidah: 89)
Ayat tersebut tidak memungkinkan pemalingan artinya
pada arti yang lain, karena jelas menunjukan wajib puasa tiga hari.[1]
b.
Dhahir
Dhahir artinya yang tampak atau yang nyata. Maksudnya
adalah lafadz yang memungkinkan untuk di takwil. Yang seperti ini biasa di
sebut dengan ghairu sharih (صريح غير) artinya
tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh
adalah firman Allah:
و السماء بنينا ها بأيد
“Dan langit
itu kami bangun dengan tangan.... “(Q.S. Adz-Dzariyat: 47)
Arti “tangan” pada ayat diatas di takwilkan artinya
dengan kekuasaan atau kekuatan, karena tidak mungkin Allah bertangan seperti
manusia.
2.
Mafhum
Mafhum dalam ushul fiqh ada dua, yaitu: muwafaqah dan
mukhalafah.
a.
Mafhum
muwafaqah
Adalah mafhum yang sesuai dengan manthuq-nya. Dan
ulama ushul memberi makna mafhum muwafaqah adalah[2]:
“apa-apa yang tidak tersebut
(yakni yang tersirat) sesuai bagi yang tersurat.”
Dan
dilihat dari bentuknya, mafhm muwafaqah bisa di bagi menjadi dua:
1)
Fakhwal
khitab
Yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari
manthuq-nya. Sebagai contoh, firman Allah:
فلا تقل لهما اف
“maka janganlah kamu katakan pada kedua
orang tuamu perkataan yang keji.” (Q.S Al-Isra’: 23)
Kadar mafhum pada ayat tersebut, yakni “tidak boleh
memukul” adalah lebih tinggi daripada mengucapkan perkataan yang keji.
2)
Lakhnul
khitab
Adalah mafhum yang mana antara mafhum dan manthuq itu
mempunyai kadar yang sama. Sebagaimana pada firman Allah yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya... (Q.S An-Nisa: 10)
Pada ayat ersebut, memakan harta anak yatim adalah
sebagai manthuq, dan mafhumnya adalah membakar harta anak yatim. Dalam hal
kadar antara memakan dan membakar harta anak yatim adalah sama, dilihat dari
sisi mengandung sifat menghabiskan.
Dalam memahami sebagian teks Al-Qur’an dan hadits,
terkadang tidak cukup menggunakan pendekatan tersurat saja, tetapi memerlukan
logika terbalik atau dalam terminologi ushul fiqh di sebut mafhum mukhalafah.
Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap hadits nabi:
في الغنم السائمة زكاة
“dalam ternak kambing yang di lepas (tidak
diberi makan oleh pemiliknya) terdapat kewajiban zakat. (HR Imam An-Nasa’i).
Makna tersurat hadits tersebut adalah bahwa pemilik
kambing yang di lepas dan tidak di beri makan sendiri wajib mengeluarkan
zakatnya sekiranya mencapai satu nisab. Namun demikian, dengan menggunakan
logika terbalik, teks hadits tersebut mengandung pengertian tersirat bahwa
kambing yang di beri makan sendiri oleh pemiliknya tidak dikenakan kewajiban
zakat walaupun sampai satu nisab. Dalam tradisi pemikiran ushul fiqh, tingkat
validasi mafhum mukhalafah sebagaimana dalam contoh tersebut masih
diperdebatkan di kalangan para yuris, khususnya kalangan madzhab mutakalimin
dan madzhab ahnaf.
Mafhum mukhalafah sendiri merupakan kebalikan dari
mafhum muwafaqah. Secara etimologi, kata “mafhum” berarti pemahaman atau
sesuatu yang dapat di pahami. Sedangkan kata “mukhalafah” mempunyai arti
berlawanan. Secara terminologi, mafhum mukhalafah adalah penunjukan lafadz
untuk menetapkan suatu hukum yang tidak di sebutkan secara tersurat dan hukum
tersebut berlawanan dengan hukum yang telah disebutkan secara tersurat dalam
lafadz. Diberi nama mafhum mukhalafah karena pemahaman tersirat yang di peroleh
berlawanan denganpemahaman tersuratnya.
Dalam kajian ushul fiqh, terdapat jenis dan ragam
mafhum mukhalafah, antara lain:
1.
Mafhum
ash-Shifah
Yaitu menyebutkan nama sesuatu yang masih umum di
sertai dengan sifat yang khusus atau membatasi lafadz yang mempunyai berbagai
makna(musytarak) dengan lafadz lain secara lebih khusus. Seperti hadits nabi:
في الغنم السائمة زكاة
“dalam ternak kambing yang di lepas (tidak
diberi makan oleh pemiliknya) terdapat kewajiban zakat. (HR Imam An-Nasa’i).
Sifat
yang dimaksud dalam teks hadits di atas adalah kata “di lepas”. Dengan
demikian, mafhum mukhalafahnya adalah bahwa kambing yang “tidak di lepas”(di
beri makan pemiliknya sendiri)tidaklah dikenakan zakat.
2.
Mafhum
Asy-Syarti
Yaitu lafadz yang indikasi hukumnya di kaitkan dengan
syarat tertentu. Lafadz tersebut menunjuk pada hukum sebaliknya sekiranya
syarat yang disebutkan itu tidak ada. Seperti firman Allah:
“dan jika
istri-istri yang sudah di talak itu sedang mengandung maka berikanlah kepada
mereka nafkah sampai mereka bersalin.” (Q.S At-Thalaq: 6)
Indikasi hukum pada ayat tersebut adalah kewajiban
memberi nafkah pada isttri yang sudah di talak dengan syarat ia sedang
mengandung. Mafhum mukhalafahnya, apabila istri
yang di talak tersebut tidak mengandung berarti tidak ada kewajiban
memberi nafkah.
3.
Mafhum
Al-Ghayah
Yaitu lafadz yang indikasi hukukmnya di kaitkan dengan
batasan waktu tertentu. Lafadz tersebut menunjukan pada hukum sebaliknya
sekiranya batasan tersebutsudah lampau. Seperti firman Allah:
“dan makan
minumlah kamu hingga tampak jelas bagimu benang putih dan benang merah
yaitu fajar.” (Q.S
Al-Baqarah: 187)
Indikasi hukum yang terdapat pada ayat tersebut adalah
diperbolehkannya makan dan minum pada malam hari bagi mereka yang bepuasa
hingga terbit fajar. Dengan demikian, mafhum mukhalafahnya adalah tidak boleh
makan dan minum bagi orang yang berpuasa jika fajar telah menyingsing terbit.
4.
Mafhum
Al-Adad
Yaitu lafadz yang indikasi hukumnya dikaitkan dengan
hitungan angka tertentu. Lafadz tersebut mengindikasikan tidak adanyan hukum
diluar bilangan tersebut. Seperti firman Allah:
“Pezina laki-laki dan pezina perempuan hendaknya
diberi hukuman cambuk masing-masing seratus kali.” (Q.S An-Nur: 2)
Indikasi mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah
tidak di perbolehkannya hukuman cambuk bagi pezina laki-laki dan perempuan
lebih atau kurang dari bilangan seratus kali.
5.
Mafhum
Al-Laqab
Yaitu kaitan hukum dengan sebuah nama. Seperti
perkataan: “saudara Ahmad datang” atau “ Muhammad adalah utusan Allah”. Mafhum
mukhalafahnya bahwa selain saudaranya Ahmad tidak datang dalam contoh pertama
dan selain Muhammad bukanlah utusan Allah pada contoh kedua.
Jenis mafhum ini sebenarnya tidak layak untuk
dijadikan dallil hukum, sebab kenyataannya tidak mustahil selain saudaranya
Ahmad pun ikut datang. Begitu pula pada contoh kedua, bukan hanya Muhammad
sajalah yang menjadi utusan Allah SWT, mengingat Allah SWT mempunyai banyak
utusan (rasul).
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqhmenolak
kehujjahan mafhum AL-Laqab ini kecuali beberapa orang saja, seperti Abu Bakr
Ad-Daqqaq,Malik, dawud, dan sejumlah ulama dalam madzhab syafi’i.
6.
Mafhum
Al-Hashr
yaitu pembatasan berlakunya hukum pada masalah-masalah
tertentu. Seperti lafadz ما (tidak) disandingkan dengan lafadz الا (kecuali)
seperti pada lafadz: ما
قام الا احمد (tidak berdiri kecuali Ahmad). Mafhum mukhalafahnya
adalah bahwa hukum berdiri terbatas hanya pada Ahmad saja.
C.
Kehujjahan
Manthuq dan Mafhum
“mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah”
Mantuq sudah jelas bisa
dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum
muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai
hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam
atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk
membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu,
dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil
lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika
diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi
Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Hampir semua ulama berpendapat demikian, kecualli
golongan dhahiriyah.
المفاهيم الا اللقب حجة
“semua
mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab”
Namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup mencolok
antara madzhab mutakalimin dan Ahnaf tentang kehujjahan mafhum mukhalafah.
Madzhab mutakalimin menganggap bahwa mafhum mukhalafh sebagai dalil dalam
penetapan hukum islam sekaligus sebagai kaidah penunjuk lafadz terhadap
hukum-hukum yang di kandungnya.
Mengingat mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujah
syar’iyah, maka madzhab ini memandang wajib mengamalkan kandungan teks dengan
pendekatan logika terbalik ini.
Bagi kaum mutakalimin, jika sebuah teks dibatasi
kandungan hukumnyadngan batasan tertentu dan sekiranya batasan tersebut sudah
tidak ada lagi, maka pendekatan dengan mafhum mukhalafah maka indikasi hukum
yang di berubah menjadi sebaliknya.
Dengan ungkapan lain, adanya batasan tertentu dalam teks Al-qur’an dan hadits
mempunyai tujuan dan maksud ttersendiri dari syar’i (Allah SWT). Oleh
itu, sekiranya hukum haram di batasi dengan batasan tertentu maka hukum haram
tersebut akan berubah menjadi hukum halal apabila batasan di atas sudah tidak
ada lagi. Kalau saja logika ini tidak di gunakan, maka batasan dalam teks
Al-qur’an dan Hadits akan sia-sia belaka tanpa mempunyai maksud dan tujuan.
Kesia-siaan ini tidak mungkin terjadi pada syariat yang bijaksana. Dengan
demikian, teks yang mempunyai batasan tertentu tadi mempunyai dua indikasi hukum.
Pertama, indikasi hukum dengan cara manthuq (tersurat) dan yang kedua,
indikasi hukum dengan cara mafhum (tersirat).
Jika madzhab mutakalimin bisa mengakui validasi mafhum
mukhalafah, maka sebaliknya, madzhab Ahnaf tidak menerima mafhum mukhalafah
sebagai hujjah syar’iyah. Bagi madzhab Ahnaf mafhum mukhalafah bukanlah dalil
yang digunakan dalam menentukan indikasi hukum dari teks Al-qur’an dan hadits.
Kata mafhum mukhalafah sendiri dalam madzhab Ahnaf lebih dikenal dengan mukhalafah
bi dzikr. Dalam kaitan ini Imam Abu Bakr al-jashbash berkata bahwa menurut
madzhab Ahnaf, mukhalafah bi dzikr mempunyai indikasi hukum terbatas dan
tidak mempunyai logika hukum terbalik atau indikasi hukum yang berlawanan.
Bagi madzhab ini, timbulnya hukum berlawanan dari teks
tersurat bukanlah dengan cara mafhum
mukhalafah, tetapi karena terdapat dalil lain seperti al-Bara’ah
al-ashliyah, yaitu dalil yang mengatakan bahwa dalil dari setiap hukum asal
dari setiap sesuatu itu adalah “tidak ada” hingga ada dalil khusus yang menentukan
hukum wajib, haram, dan lainnya. Namun demikian,
mazhab Ahnaf tidak dapat menerima mafhum mukhalafah sebagai hujjah terbatas
pada ungkapan-ungkapan syar’i baik berupa teks Al-qur’an ataupun hadits. Sebaliknya,
di luar teks syar’i, seperti dalam perkataan manusia serta adat istiadat
mereka, mazhab ini masih menerima keberadaan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.
Penolakan mazhab Ahnaf terhadap validasi mafhum
mukhalafah didasarkan pada asumsi bahwa penggunaan logika terbalik ini
menyebabkan rusaknya makna. Selain itu, hukum-hukum yang di peroleh dari kedua
teks tersebut akan bertentangan dengan syariat yang telah di tetapkan secara
baku dan permanen. Mazhab inimengemukakan contoh (Q.S At-Taubah: 36) yang
menyatakan haram melakukan kedzalliman pada bulan-bulah haram yang empat. Jika di
terapkan pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari teks ini, maka berbuat
kedzaliman diluar bulan-bulan haram yang empat tersebut boleh dilakukan. Hal ini
jelas bertentangan dengan ketentuan syariat yang baku. Argumen lain yang
dikemukakan oleh mazhab Ahnaf, bahwa pembatasan
dalam teks wahyu terkadang disebutkan bukan untuk menjelaskan kaitan
hukum, tetapi sekedar untuk menyambut baik tradisi maupun realitas yang sedang
terjadi.
Kalangan mazhab mutakalimin sendiri sesungguhnya tidak
mengapresiasikan penggunaan mafhum mukhalafah tanpa batasan. Argumen penolakan mazhab
Ahnaf terhadap mafhum mukhalafah tidak bertentangan secara diametral dengan apa
yang menjadi pendirian mazhab mutakalimin. Contoh absurditas penggunaan mafhum
mukhalafah yang di kemukakan mazhab Ahnaf termasuk sesuatu yang di kecualikan dan
dianggap tidak memenuhi persyaratan oleh mazhab mutakalimin untuk di ambil
pemahaman terbalik. Dalam kaitan ini, mazhab ini (mutakalimin) mengajukan persyaratan
bahwa batasan yang ada dalam sebuah teks wahyu tidaklah mempunyai maksud lain
selain kandungan mafhum mukhalafah. Secara lebih terperinci, beberapa
persyaratan yang harus di penuhi dalam penggunaan pemahaman terbalik adalah
sebagai berikut:
1.
Kandungan
mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat, seperti
teks wahyu dan lain-lain. Dengan kata lain, untuk menerapkan pemahaman terbalik
dari sebuah teks disyaratkan tidak ada teks lain yang menafikan kandungan hukum
mafhum mukhalafah.
2.
Batasan
dalam sebuah teks wahyu disyaratkan tidak mempunyai fungsi dan kegunaan lain
selain untuk menetapkan hukum kebalikan (mafhum mukhalafah). Fungsi-fungsi lain
yang dimaksud seperti untuk menyenangkan, untuk menakut-nakuti untuk memberi
semangat, untuk membuat orang lari, untuk menyebut nikmat Allah SWT dan lain-lain.
3.
Batasan
dalam teks wahyu bukan untuk menjelaskan hal yang sudah menjadi adat dan
kebiasaan di kalangan masyarakat.
4.
Batasan
dalam sebuah teks wahyu harus bebas dan mandiri dan tidak mengekor pada
persoalan lain untuk bisa diambil pemahaman terbalik.
Dengan sejumlah persyaratan yang diajukan madzhab mutakalimin
ini, maka kekhawatiran mazhab Ahnaf bahwa menggunakan mafhum mukhalafah dapat
menyebabkan rusaknya makna dan produk hukun yang diperoleh dari teks wahyu menjadi
tidak relevan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar