MAKALAH
HADIST-HADIST
TENTANG PUASA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: HADIST AHKAM
DosenPengampu: Dr. H. Tolkhatul Khoir, M. Ag.
DisusunOleh :
Abu
Hasan Tamim :1402046039
Ayi
Muhammad Taufiq :1402046040
Busrol
Habibi :1402046042
PROGRAM
STUDI ILMU FALAK
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puasa adalah rukun islam yang telah
di fardhukan oleh Allah SWT yang tersurat dalam kitabullah (Al-Qur’an) dan
sunnah (hadits). Dalam hal ini yang ter tuju adalah puasa ramadhan. Di mana
pada bulan tersebut terjadi peristiwa nuzulul qur’an atau turunnya Al-Qur’an.
Perintah Allah tentang di wajibkannya puasa ramadhan terdapat pada surat
Al-Baqarah ayat 183.
Ramadhan adalah bulan penuh berkah,
dan di mana pintu-pintu syurga di buka. Yang di dalam bulan tersebut Allah SWT
mewajibkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya untuk berpuasa. Namun puasa
tidak hanya di lakukan pada bulan ramadhan. Ada yang di lakukan pada bulan
dzulhijjah, syawal, dan waktu-waktu yang lainnya. Namun semua itu (selain
ramadhan) adalah sunnah. Berbeda dengan puasa karena membayar kifarat, memenuhi
janji (nadzar), dan mengqadha puasa ramadhan, ketiga itu termasuk puasa yang
wajib namun di luar bulan ramadhan.
Akan
tetapi semua itu harus dilandasi sebuah pedoman yang konkrit, sesuai agama
Islam yang senantiasa berlandasan Al-Qur’an dan Hadist. Selain itu, pemaknaan
dari Al-qur’an dan hadist harus melalui proses yang benar-benar serius. Sebab
dari hadist khususnya, harus ada yang namanya asbabul wurud, sanad, dan lain
sebagainya. Berikut, kami akan mencoba menjabarkan hadist dengan penjelasan
beserta tinjauan fiqhnya.
1.2
Rumusan Masalah
1. apa
pengertian puasa?
2. apa sajakah hadits yang berkaitan
dengan puasa?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
puasa
Puasa secara bahasa berasal dari bahasa arab “shaum” dan “shiyam” yang
berarti menahan (imsak).[1]Sedangkan
secara syar’i berarti mencegah diri secara sadar dari makan, minum, bersetubuh
dengan perempuan dan hal-hal semisalnya, selama sehari penuh. Yakni mulai dari
terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan
taqarrub kepada Allah Swt.[2]
2.2 Hadist-hadist
tentang puasa
a. Niat
puasa
حدثنا سعيد بن شرحبيل حدثنا ليث بن سعيد عن يحي بن ايوب عن عبداللهبن ابي
بكر عن سالم بن عبدالله بن عمر, عن ابن عمر عن حفصح عن رسول الله صلي الله عليه
وسلم, قال : من لم يبيت الصيام قبل الفجر, فلا صيا م له. قال عبد الله في فرض
الواجب اقول به
Sa`id
syurahbil menceritakan kepada kami Laits bin Sa`d menceritakan kepada kami dari
Yahya bin Ayyub dari Abdullah bin Abu Bakar dari Salim bin Abdullah bin Amr
dari Ibnu Umar dari Hafsah, dari Rasullullah SAW beliau bersabda “ barang siapa
yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya (tidak sah)”
Abdullah berkata niat tersebut untuk puasa wajib, aku berpendapat demikian.[3]
Penjelasan
Ketika seseorang tidak niat melakukan puasa ketika sebelum
datangnya fajar, maka orang tersebut di anggap tidak berpuasa. Lain halnya jika
yang di lakukan adalah puasa sunnah, ketika seseorang niat setelah fajar maka
masih di katakan puasa selagi matahari belum tergelincir.
Tinjauan fiqih
Dalam kita melakukan niat, itu di mulai dari waktu terbenamnya
matahari atau setelah berbuka puasa dan berakhir pada sebelum fajar tiba. Jadi
niat tidak di syaratkan pada waktu sebelum fajar. Dan jika telah mengetahui hal
tersebut tetapi seseorang melakukan niat bersamaan dengan keluarnya fajar, maka
puasanya dikatakan tidak sah. Menertentukan niat pada puasa yang fardu juga
wajib, apakah puasa yang di lakukannya itu karena nadhar ataukah untuk mengadha
puasa ramadhan. Berbeda dengan puasa fardu, menertentukan niat pada puasa
sunnah itu tidaklah wajib, seperti contoh “saya niat puasa esok hari karena
allah SWT”. Tetapi sebaiknya dan alangkah baiknya untuk puasa seperti
arafah,tarwiyah, itu niatnya di tertentukan.
b. Sahur dan Berbuka
اخبرنا سعيد بن عامر عن شعبة بن عبد العزيز بن صهيب عن انس بن مالك, قال قال
رسول الله صلي الله عليه وسلم : تسحروا فان في السحور بركة (اخرجه البخري
في كتاب الصوم : باب بركة السحور من غيرايجاب )
Sa`id bin Amir mengabarkan kepada kami dai Syu`bbah
dari Abdul Azizi bin Shuhaib dari Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah
bersabda “ bersahurlah kalian karena did adalam sahur itu terdapat berkah”. (di
sebutkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab puasa bab berkah di dalam sahur dan
hukumnya tidak wajib)[4]
Penjelasan
“Di dalam sahur itu terdapat berkah.” Ada beberpa
maksud dari kalimah tersebut. Pertama bahwa dengan mantap sahur walaupun
sedikit dapat membantu melaksanakan puasa. Kedua yang dimaksud dengan berkah
disini adalah tidak memberatkan atau tidak wajib.ketiga yakni melaksanakan
puasa dan ibadah puasa hari lainnya dengan penuh ketaqwaan, dan karena sahur
menhasilkan tenaga untuk beribadah dan mencegah melakukan akhlak tercela karena
rasa lapar. Kerempat yang dimaksud adalah perkara-perkara bersifat ukhrowi,
karena melaksanakan pekerjaan yang sunnah dapat mehasilkan pahala.
Al-Qodi `Iyad adalah berkata bahwa
mungkin berkah sahur bagi yang melakukannya tidaklah sama dengan melakukan
solat, diikr, atau amalan lainnya, yang seandainya tidak melakukan sahur seorang
akan terus tertidur dan meningglkn amalan tersebut.
Tinjauan
fiqih
Sahur itu sunnah, mengakhirkan
sahurpun sunnah. Jadi di sunnahkan sahur ketika menjelang waktu fajar dengan
kadar bacaan 50 ayat Al-Qur’an. Tetapi kesunnahan mengakhirkan puasa itu kalau
tidak ada keraguan atas datangnya fajar tatkala kita sedang melakukan sahur.
Berbuka
اخبرنا محمد بن يوسف عن سفيان الثوري عن ابي حازم عن سهل بن سعد قال :
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر (اخرجه
البخري في كتاب الصوم : تعجيل الافطار)
Muhammad bin Yusuf mengabarkan kepada
kami, dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa`d, dia berkata :
Rasulullah SAW bersabda “tidak henti-hentinya manusia berada dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan berbuka.”[5]
Penjelasan
Takkan terhenti suatu kebaikan atas
seseorang, selagi orang tersebut menyegerakan dirinya untuk berbuka puasa.
Tetapi harus di ketahui terlebih dahulu bahwa waktu maghrib telah datang.
Apabila merasa ragu akan waktu maghrib, maka tidak di anjurkan untuk
menyegerakan berbuka.
Tinjauan
fiqih
Dalam hadist dia atas mempunyai beberapa
ketentuan hukum, pertama disunahkan
menyegerakan berbuka ketika telah yakin waktu magrib datang. Makrukh
mengakhirkan berbuka bagi orang yang mengakhirkannya. Ketiga hadist ini
menguatkan bagi orang yang tidak mengharapkan puasa satu hari penuh karena di
dalam menyegerakan terdapat kebaikan dan memberikan kekuatan untuk ibadah
setelahnya.
c. Puasa Sunnah
Imam
syafi’i berkata: orang yang berpuasa sunnah berbeda
dengan orang yang berpuasa wajib (puasa ramadhan, kifarat, qadha, dan
lain-lain). Orang yang berniat puasa wajib harus berniat sebelum fajar,
sedangkan puasa sunnah boleh diniatkan di pagi hari dengan syarta ia belum
minum dan makanjika orang membatalkan puasa sunnahnya tanpa udzur
(alasan/halangan), maka menurut pendapat imam syafi’i hal ini adalah makruh,
tapi ia tidak wajib mengqadha puasa tersebut.
Imam
syafi’i berkata: dari Aisyah r.a, ia berkata, pada
suatu hari Rasulullah SAW pulang ke rumah saya, lalu saya katakan kepada beliau
bahwa saya menyimpan hais (kurma yang di campur minyak samin lalu di
aduk sampai halus setelah membuang bijinya) untukbeliau bersabda:”sesungguhnya
bagi aku berniat untuk puasa sunnah, tapi bawalah kemari hais itu (beliau
membatalkan puasanya)[6]
Puasa `Arafah
حدثنا قتيبة واحمد عن عبدة الضبي قالا : حدثنا حماد بن زيد عن غيلان بن
جرير عن عبدالله بن معبد الزماني عن ابي قتادة ان النبي صلي الله عليه وسلم قال :
صيام يوم عرفة اني احتسب غلى الله ان يكفر السنة التى قبله و سنة بعده (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Qutaibah dan Ahmad bin
Abdah adl-Dhabi merek berkta : Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari
Ghoilan bin Jarir dari Abdullah bin Ma`bad az-Zimani dari Abi Qotadah,
sesungguhnya nabi Muhammad SAW bersabda “ di dalam puasa hari Arafah itu saya
berharap pengampunan kepada Alloh SWT atas dosa satu tahun yang lalu dan satu
tahun yang akan datang.”
Penjelasan
Pada tanggal 9 dzulhijjah (arofah) nabi
Muhammad SAW melaksanakan puasa sunnah yang tujuannya untuk mengharap
pengampunan atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang. Padalah
nabi Muhammad seorang ma`shum (tidak pernah melakukan salah) saja melakukan
puasa sunnah arofah.
Tinjauan
fiqih
Termasuk puasa yang disunnahkan serta
menentukan niatnya. Walaupun adanya ikhtilaf `ulama namun ulama masyhur
menyunnahkan melaksanakannya. Kecuali bagi orang yang sedang berada di padang
arofah (wukuf) dan disunnahkan untuk berbuka karena diakibatkan turunnya
kondisi fisik dan menjadikan lemah ketika berdoa dan berzikir sertadalam ibadah
yang lain. Tetapi menurut imam Ahmad kalau
seseorang yang sedang haji merasa dirinya kuat maka diperbolehkan berpuasa. [7]
Puasa Senin-Kamis
حدثنا وهب بن جرير,
حدثنا هشام, عن يحي, عن عمر بن الحكم بن ثوبنو ان مولي قدامة بن مظعون, حدثه ان
مولي اسامة حدثه قال: كان اسامة يركب الي مال له بوادى القرى, فيصوم الاثنين
والخميس في الطريق, فقلت له: لما تصوم الاثنين والخميس في السفر, وقدكبرت وضعفت,
او رققت ؟فقال: ان رسول الله صلي الله عليه وسلم كان يصوم الاثنين والخميس, وقال:
ان اعمال الناس تعرض يوم الاثنين والخميس
Wahab bin Jarir menceritakan kepada
kami, Hisyam menceritakan kepada kami dari Yahya, dari Umar bin al-Hakam bin
Tsauban, bahwa maula Qudamah bin Maz`un menceritakan kepadanya bahwa maula
Usamah menceritakan kepadanya, dia berkata: suatu ketika Usamah berkendaraan
menuju hartanya di lembah al-Qura, kemudian dia berpuasa senin-kamis
diperjalanan. Aku kemudian bertanya kepadanya “mengapa engkau puasa senin kamis
diperjalanan, padahal usiamu telah tua dan (fisikmu) lemah atau tidak kuat? Dia
menjawab “sesungguhnya Rasulullah SAW selalu melaksanakan puasa senin dan
kamis.”[8]
Penjelasan
Suatu ketika sahabat usamah sedang dalam
perjalanan menuju lembah qura’ untuk mengambil hartanya, dan di dalam
perjalanan tersebut beliau berpuasa ketika hari senin dan kamis. Kemudian di
tanya oleh tuan qudamah (maula qudamah) perihal puasa yang di lakukannya itu
padahal usia beliau sudah lanjut. Kemudian sahabat usamah mengatakan bahwa Nabi
Muhammad pun dahulu pernah melakukan puasa pada hari senin kamis. Dan adanya
puasa senin kamis ini di karenakan pada hari senin adalah hari dimana Nabi
Muhammad di lahirkan dan di utus menjadi rasul.
Puasa
Syawal
و عن أبي ايوب
الأنصارى رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله غليه و سلم قال: من صام رمضان ثم
أتبعه ستتا من شوال كان كصيام الدهر. رواه مسلم.
Dari abi ayyub al-anshori r.a.bahwa Rasulullah SAW
bersabda:”barang siapa yang berpuasa ramadhan , kemudian dia mengikutinya
dengan puasa enam hari di bulan syawal, maka seakan-akan dia puasa selama satu
tahun.” (HR. muslim)[9]
Penjelasan
Jadi puasa enam hari di bulan syawal
ketika di lakukan maka orang tersebut seperti melakukan puasa fardhu selama
satu tahun. Dan lebih baiknya di lakukan setelah hari raya idul fitri. Karena
melalkukan puasa ramadhan itu seperti melakukan puasa sepuluh bulan, sedangkan
enam hari pada bulan syawal itu seperti puasa dua bulan. Oleh sebab itu puasa
enam hari pada bulan syawal itu seperti puasa selama satu tahun.
Tinjauan fiqih
Disunatkan berpuasa enam hari pada bulan
syawal. Mazhab al-Syafi’i mengatakan bahwa apa yang lebih utama hendaklah puasa
Syawal dilakukan berturut-turut sesudah hari raya, tetapi apabila dia
memisah-misahkannya atau mengakhirkannya daripada permulaan Syawal , maka dia
tetap beroleh pahala sunat puasa. Imam Ahmad berkata: “tidak ada perbedaan keutamaan
antara puasa secara berturut-turut dan memisahkannya; semua itu sama saja”.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Abu
Yusuf mengatakan bahwa makruh berpuasa pada hari-hari itu secara berturut-turut
setelah hari raya bagi menghindari kenyakinan bahwa puasa itu wajib. Akan
tetapi ulama’ fiqih dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanafi mengatakan
bahwa disunatkan melakukan puasa enam hari Syawal secara terpisah-pisah, tetapi
tidak makruh apabila dikerjakan secara berturut-turut menurut pendapat yang
terpilih. Lain halnya dengan Abu Yusuf, beliau berpendapat memakruhkannya.
Mereka mentafsirkan pendapat kedua-dua imam (Imam Malik dan Imam Abu Hanifah)
sebagai apabila seorang menghubungkan secara langsung puasanya setelah hari
raya, lalu dia mengerjakannya secara berturut-turut. Tetapi jika seorang
melakukannya tanpa menghubungkannya secara langsung dengan hari raya dan tidak
berturut-turut, maka itu tidak makruh.[10]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Puasa
merupakan hal penting dalam Islam, selain bertujuan untuk kewajiban ada
beberapa yang bertujuan untuk melatih diri agar tetap menjaga hati, atau bahkan
untuk akselerasi diri.
3.2
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah tentang puasa dalam Islam, kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini
jauh dari kata sempurna, baik dari segi penulisan maupun dari aspek subtansinya
yang mungkin masih jauh dari konteks materi bahkan tidak sesuai. Kami hanya
bisa memohon maaf atas kekurangan kami, kami sangat berharap ada masukan berupa
kritik maupun saran dari teman-teman untuk penyempurnaan makalah ini atupun
makalah ke depan. Atas masukannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Imam
Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris,Ringasan Kitb Al-Umm,PUSTAKA AZZAM,
jakarta 2013,
Muhammad
Abdus Salam As-Sahin,hasiyah al-baijuri, darl kuth al-alamiyah,beirut 1999,
Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Sahih Bukahri Muslim, Al-andalus, Solo, 2014
Nor
hasanuddin H.M fauzi, terjemah ibanatul akhkam syarah bulughul maram jilid
2,AL-HIDAYAH, kuala lumpur,2010.
Syaikh
Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel, 2007.
Yusuf
Qardhawi, FIQIH PUASA, (Solo: Era Intermedia, 1998),
Yasin,
Fiqih Ibadah, (Kudus: Stain Kudus, 2008)
[1]
Yasin, Fiqih Ibadah, (Kudus: Stain Kudus, 2008),hlm:108
[2]
Yusuf Qardhawi, FIQIH PUASA, (Solo: Era Intermedia, 1998), hlm:18
[3]
Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel,
2007 hal 12
[4]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Sahih Bukahri Muslim, Al-andalus,
Solo, 2014, hal 297
[5]
Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel,
2007 hal 13
[6]
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris,Ringasan Kitb Al-Umm,PUSTAKA
AZZAM, jakarta 2013, hal.545
[7]
Muhammad Abdus Salam As-Sahin,hasiyah al-baijuri, darl kuth al-alamiyah,beirut
1999, hal.553
[8]
Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel,
2007 hal 45
[9]
Ibid.hal.54
[10]
Nor hasanuddin H.M fauzi, terjemah ibanatul akhkam syarah bulughul maram jilid
2,AL-HIDAYAH, kuala lumpur,2010. Hal.418

Tidak ada komentar:
Posting Komentar