Minggu, 27 September 2015

hadits ahkam tentang puasa



         MAKALAH
HADIST-HADIST TENTANG PUASA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: HADIST AHKAM
                                           DosenPengampu: Dr. H. Tolkhatul Khoir, M. Ag.


DisusunOleh :
Abu Hasan Tamim                  :1402046039
Ayi Muhammad Taufiq          :1402046040
Busrol Habibi                          :1402046042              


PROGRAM STUDI ILMU FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Puasa adalah rukun islam yang telah di fardhukan oleh Allah SWT yang tersurat dalam kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah (hadits). Dalam hal ini yang ter tuju adalah puasa ramadhan. Di mana pada bulan tersebut terjadi peristiwa nuzulul qur’an atau turunnya Al-Qur’an. Perintah Allah tentang di wajibkannya puasa ramadhan terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183.
            Ramadhan adalah bulan penuh berkah, dan di mana pintu-pintu syurga di buka. Yang di dalam bulan tersebut Allah SWT mewajibkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya untuk berpuasa. Namun puasa tidak hanya di lakukan pada bulan ramadhan. Ada yang di lakukan pada bulan dzulhijjah, syawal, dan waktu-waktu yang lainnya. Namun semua itu (selain ramadhan) adalah sunnah. Berbeda dengan puasa karena membayar kifarat, memenuhi janji (nadzar), dan mengqadha puasa ramadhan, ketiga itu termasuk puasa yang wajib namun di luar bulan ramadhan.
Akan tetapi semua itu harus dilandasi sebuah pedoman yang konkrit, sesuai agama Islam yang senantiasa berlandasan Al-Qur’an dan Hadist. Selain itu, pemaknaan dari Al-qur’an dan hadist harus melalui proses yang benar-benar serius. Sebab dari hadist khususnya, harus ada yang namanya asbabul wurud, sanad, dan lain sebagainya. Berikut, kami akan mencoba menjabarkan hadist dengan penjelasan beserta tinjauan fiqhnya.

1.2 Rumusan Masalah
            1. apa pengertian puasa?
            2. apa sajakah hadits yang berkaitan dengan puasa?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian puasa
Puasa secara bahasa berasal dari bahasa arab “shaum” dan “shiyam” yang berarti menahan (imsak).[1]Sedangkan secara syar’i berarti mencegah diri secara sadar dari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan hal-hal semisalnya, selama sehari penuh. Yakni mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah Swt.[2]
2.2  Hadist-hadist tentang puasa
a.      Niat puasa
حدثنا سعيد بن شرحبيل حدثنا ليث بن سعيد عن يحي بن ايوب عن عبداللهبن ابي بكر عن سالم بن عبدالله بن عمر, عن ابن عمر عن حفصح عن رسول الله صلي الله عليه وسلم, قال : من لم يبيت الصيام قبل الفجر, فلا صيا م له. قال عبد الله في فرض الواجب اقول به
Sa`id syurahbil menceritakan kepada kami Laits bin Sa`d menceritakan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dari Abdullah bin Abu Bakar dari Salim bin Abdullah bin Amr dari Ibnu Umar dari Hafsah, dari Rasullullah SAW beliau bersabda “ barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya (tidak sah)” Abdullah berkata niat tersebut untuk puasa wajib, aku berpendapat demikian.[3]
Penjelasan
      Ketika seseorang tidak niat melakukan puasa ketika sebelum datangnya fajar, maka orang tersebut di anggap tidak berpuasa. Lain halnya jika yang di lakukan adalah puasa sunnah, ketika seseorang niat setelah fajar maka masih di katakan puasa selagi matahari belum tergelincir.

Tinjauan fiqih
      Dalam kita melakukan niat, itu di mulai dari waktu terbenamnya matahari atau setelah berbuka puasa dan berakhir pada sebelum fajar tiba. Jadi niat tidak di syaratkan pada waktu sebelum fajar. Dan jika telah mengetahui hal tersebut tetapi seseorang melakukan niat bersamaan dengan keluarnya fajar, maka puasanya dikatakan tidak sah. Menertentukan niat pada puasa yang fardu juga wajib, apakah puasa yang di lakukannya itu karena nadhar ataukah untuk mengadha puasa ramadhan. Berbeda dengan puasa fardu, menertentukan niat pada puasa sunnah itu tidaklah wajib, seperti contoh “saya niat puasa esok hari karena allah SWT”. Tetapi sebaiknya dan alangkah baiknya untuk puasa seperti arafah,tarwiyah, itu niatnya di tertentukan.

b.       Sahur dan Berbuka
اخبرنا سعيد بن عامر عن شعبة بن عبد العزيز بن صهيب عن انس بن مالك,  قال قال  رسول الله صلي الله عليه وسلم : تسحروا فان في السحور بركة (اخرجه البخري في كتاب الصوم : باب بركة السحور من غيرايجاب )


Sa`id bin Amir mengabarkan kepada kami dai Syu`bbah dari Abdul Azizi bin Shuhaib dari Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah bersabda “ bersahurlah kalian karena did adalam sahur itu terdapat berkah”. (di sebutkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab puasa bab berkah di dalam sahur dan hukumnya tidak wajib)[4]

Penjelasan
“Di dalam sahur itu terdapat berkah.” Ada beberpa maksud dari kalimah tersebut. Pertama bahwa dengan mantap sahur walaupun sedikit dapat membantu melaksanakan puasa. Kedua yang dimaksud dengan berkah disini adalah tidak memberatkan atau tidak wajib.ketiga yakni melaksanakan puasa dan ibadah puasa hari lainnya dengan penuh ketaqwaan, dan karena sahur menhasilkan tenaga untuk beribadah dan mencegah melakukan akhlak tercela karena rasa lapar. Kerempat yang dimaksud adalah perkara-perkara bersifat ukhrowi, karena melaksanakan pekerjaan yang sunnah dapat mehasilkan pahala.
                        Al-Qodi `Iyad adalah berkata bahwa mungkin berkah sahur bagi yang melakukannya tidaklah sama dengan melakukan solat, diikr, atau amalan lainnya, yang seandainya tidak melakukan sahur seorang akan terus tertidur dan meningglkn amalan tersebut.


Tinjauan fiqih
            Sahur itu sunnah, mengakhirkan sahurpun sunnah. Jadi di sunnahkan sahur ketika menjelang waktu fajar dengan kadar bacaan 50 ayat Al-Qur’an. Tetapi kesunnahan mengakhirkan puasa itu kalau tidak ada keraguan atas datangnya fajar tatkala kita sedang melakukan sahur.
Berbuka
اخبرنا محمد بن يوسف عن سفيان الثوري عن ابي حازم عن سهل بن سعد قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر (اخرجه البخري في كتاب الصوم : تعجيل الافطار)
Muhammad bin Yusuf mengabarkan kepada kami, dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa`d, dia berkata : Rasulullah SAW bersabda “tidak henti-hentinya manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[5]
Penjelasan
            Takkan terhenti suatu kebaikan atas seseorang, selagi orang tersebut menyegerakan dirinya untuk berbuka puasa. Tetapi harus di ketahui terlebih dahulu bahwa waktu maghrib telah datang. Apabila merasa ragu akan waktu maghrib, maka tidak di anjurkan untuk menyegerakan berbuka.
Tinjauan fiqih
Dalam hadist dia atas mempunyai beberapa ketentuan hukum, pertama  disunahkan menyegerakan berbuka ketika telah yakin waktu magrib datang. Makrukh mengakhirkan berbuka bagi orang yang mengakhirkannya. Ketiga hadist ini menguatkan bagi orang yang tidak mengharapkan puasa satu hari penuh karena di dalam menyegerakan terdapat kebaikan dan memberikan kekuatan untuk ibadah setelahnya.
c.        Puasa Sunnah
Imam syafi’i berkata: orang yang berpuasa sunnah berbeda dengan orang yang berpuasa wajib (puasa ramadhan, kifarat, qadha, dan lain-lain). Orang yang berniat puasa wajib harus berniat sebelum fajar, sedangkan puasa sunnah boleh diniatkan di pagi hari dengan syarta ia belum minum dan makanjika orang membatalkan puasa sunnahnya tanpa udzur (alasan/halangan), maka menurut pendapat imam syafi’i hal ini adalah makruh, tapi ia tidak wajib mengqadha puasa tersebut.
Imam syafi’i berkata: dari Aisyah r.a, ia berkata, pada suatu hari Rasulullah SAW pulang ke rumah saya, lalu saya katakan kepada beliau bahwa saya menyimpan hais (kurma yang di campur minyak samin lalu di aduk sampai halus setelah membuang bijinya) untukbeliau bersabda:”sesungguhnya bagi aku berniat untuk puasa sunnah, tapi bawalah kemari hais itu (beliau membatalkan puasanya)[6]
Puasa `Arafah
حدثنا قتيبة واحمد عن عبدة الضبي قالا : حدثنا حماد بن زيد عن غيلان بن جرير عن عبدالله بن معبد الزماني عن ابي قتادة ان النبي صلي الله عليه وسلم قال : صيام يوم عرفة اني احتسب غلى الله ان يكفر السنة التى قبله و سنة بعده (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Qutaibah dan Ahmad bin Abdah adl-Dhabi merek berkta : Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ghoilan bin Jarir dari Abdullah bin Ma`bad az-Zimani dari Abi Qotadah, sesungguhnya nabi Muhammad SAW bersabda “ di dalam puasa hari Arafah itu saya berharap pengampunan kepada Alloh SWT atas dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.”
Penjelasan
Pada tanggal 9 dzulhijjah (arofah) nabi Muhammad SAW melaksanakan puasa sunnah yang tujuannya untuk mengharap pengampunan atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang. Padalah nabi Muhammad seorang ma`shum (tidak pernah melakukan salah) saja melakukan puasa sunnah arofah.
Tinjauan fiqih
Termasuk puasa yang disunnahkan serta menentukan niatnya. Walaupun adanya ikhtilaf `ulama namun ulama masyhur menyunnahkan melaksanakannya. Kecuali bagi orang yang sedang berada di padang arofah (wukuf) dan disunnahkan untuk berbuka karena diakibatkan turunnya kondisi fisik dan menjadikan lemah ketika berdoa dan berzikir sertadalam ibadah yang lain. Tetapi menurut imam Ahmad  kalau seseorang yang sedang haji merasa dirinya kuat maka diperbolehkan berpuasa. [7]
            Puasa Senin-Kamis
            حدثنا وهب بن جرير, حدثنا هشام, عن يحي, عن عمر بن الحكم بن ثوبنو ان مولي قدامة بن مظعون, حدثه ان مولي اسامة حدثه قال: كان اسامة يركب الي مال له بوادى القرى, فيصوم الاثنين والخميس في الطريق, فقلت له: لما تصوم الاثنين والخميس في السفر, وقدكبرت وضعفت, او رققت ؟فقال: ان رسول الله صلي الله عليه وسلم كان يصوم الاثنين والخميس, وقال: ان اعمال الناس تعرض يوم الاثنين والخميس
Wahab bin Jarir menceritakan kepada kami, Hisyam menceritakan kepada kami dari Yahya, dari Umar bin al-Hakam bin Tsauban, bahwa maula Qudamah bin Maz`un menceritakan kepadanya bahwa maula Usamah menceritakan kepadanya, dia berkata: suatu ketika Usamah berkendaraan menuju hartanya di lembah al-Qura, kemudian dia berpuasa senin-kamis diperjalanan. Aku kemudian bertanya kepadanya “mengapa engkau puasa senin kamis diperjalanan, padahal usiamu telah tua dan (fisikmu) lemah atau tidak kuat? Dia menjawab “sesungguhnya Rasulullah SAW selalu melaksanakan puasa senin dan kamis.”[8]
Penjelasan
Suatu ketika sahabat usamah sedang dalam perjalanan menuju lembah qura’ untuk mengambil hartanya, dan di dalam perjalanan tersebut beliau berpuasa ketika hari senin dan kamis. Kemudian di tanya oleh tuan qudamah (maula qudamah) perihal puasa yang di lakukannya itu padahal usia beliau sudah lanjut. Kemudian sahabat usamah mengatakan bahwa Nabi Muhammad pun dahulu pernah melakukan puasa pada hari senin kamis. Dan adanya puasa senin kamis ini di karenakan pada hari senin adalah hari dimana Nabi Muhammad di lahirkan dan di utus menjadi rasul.
Puasa Syawal
و عن أبي ايوب الأنصارى رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله غليه و سلم قال: من صام رمضان ثم أتبعه ستتا من شوال كان كصيام الدهر. رواه مسلم.
Dari abi ayyub al-anshori r.a.bahwa Rasulullah SAW bersabda:”barang siapa yang berpuasa ramadhan , kemudian dia mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan syawal, maka seakan-akan dia puasa selama satu tahun.” (HR. muslim)[9]

Penjelasan
Jadi puasa enam hari di bulan syawal ketika di lakukan maka orang tersebut seperti melakukan puasa fardhu selama satu tahun. Dan lebih baiknya di lakukan setelah hari raya idul fitri. Karena melalkukan puasa ramadhan itu seperti melakukan puasa sepuluh bulan, sedangkan enam hari pada bulan syawal itu seperti puasa dua bulan. Oleh sebab itu puasa enam hari pada bulan syawal itu seperti puasa selama satu tahun.
            Tinjauan fiqih
Disunatkan berpuasa enam hari pada bulan syawal. Mazhab al-Syafi’i mengatakan bahwa apa yang lebih utama hendaklah puasa Syawal dilakukan berturut-turut sesudah hari raya, tetapi apabila dia memisah-misahkannya atau mengakhirkannya daripada permulaan Syawal , maka dia tetap beroleh pahala sunat puasa. Imam Ahmad berkata: “tidak ada perbedaan keutamaan antara puasa secara berturut-turut dan memisahkannya; semua itu sama saja”.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Abu Yusuf mengatakan bahwa makruh berpuasa pada hari-hari itu secara berturut-turut setelah hari raya bagi menghindari kenyakinan bahwa puasa itu wajib. Akan tetapi ulama’ fiqih dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanafi mengatakan bahwa disunatkan melakukan puasa enam hari Syawal secara terpisah-pisah, tetapi tidak makruh apabila dikerjakan secara berturut-turut menurut pendapat yang terpilih. Lain halnya dengan Abu Yusuf, beliau berpendapat memakruhkannya. Mereka mentafsirkan pendapat kedua-dua imam (Imam Malik dan Imam Abu Hanifah) sebagai apabila seorang menghubungkan secara langsung puasanya setelah hari raya, lalu dia mengerjakannya secara berturut-turut. Tetapi jika seorang melakukannya tanpa menghubungkannya secara langsung dengan hari raya dan tidak berturut-turut, maka itu tidak makruh.[10]


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Puasa merupakan hal penting dalam Islam, selain bertujuan untuk kewajiban ada beberapa yang bertujuan untuk melatih diri agar tetap menjaga hati, atau bahkan untuk akselerasi diri.

3.2 Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang puasa dalam Islam, kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penulisan maupun dari aspek subtansinya yang mungkin masih jauh dari konteks materi bahkan tidak sesuai. Kami hanya bisa memohon maaf atas kekurangan kami, kami sangat berharap ada masukan berupa kritik maupun saran dari teman-teman untuk penyempurnaan makalah ini atupun makalah ke depan. Atas masukannya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris,Ringasan Kitb Al-Umm,PUSTAKA AZZAM, jakarta 2013,
Muhammad Abdus Salam As-Sahin,hasiyah al-baijuri, darl kuth al-alamiyah,beirut 1999,
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Sahih Bukahri Muslim, Al-andalus, Solo, 2014
Nor hasanuddin H.M fauzi, terjemah ibanatul akhkam syarah bulughul maram jilid 2,AL-HIDAYAH, kuala lumpur,2010.
Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel, 2007.
Yusuf Qardhawi, FIQIH PUASA, (Solo: Era Intermedia, 1998),
Yasin, Fiqih Ibadah, (Kudus: Stain Kudus, 2008)


[1] Yasin, Fiqih Ibadah, (Kudus: Stain Kudus, 2008),hlm:108
[2] Yusuf Qardhawi, FIQIH PUASA, (Solo: Era Intermedia, 1998), hlm:18
[3] Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel, 2007 hal 12
[4] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Sahih Bukahri Muslim, Al-andalus, Solo, 2014, hal 297
[5] Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel, 2007 hal 13
[6] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris,Ringasan Kitb Al-Umm,PUSTAKA AZZAM, jakarta 2013, hal.545
[7] Muhammad Abdus Salam As-Sahin,hasiyah al-baijuri, darl kuth al-alamiyah,beirut 1999, hal.553
[8] Syaikh Muhammad Abdul Aziz AlKhalidi, Sunan Ad-Darimi, Pustaka Azam, Jaksel, 2007 hal 45
[9] Ibid.hal.54
[10] Nor hasanuddin H.M fauzi, terjemah ibanatul akhkam syarah bulughul maram jilid 2,AL-HIDAYAH, kuala lumpur,2010. Hal.418

Tidak ada komentar:

Posting Komentar